Article Detail

Mendidik Sepenuh Hati

Guru memiliki tempat yang strategis dalam  menyumbang kemajuan suatu bangsa. Guru merupakan  profesi yang sangat mulia, bisa membuat peserta didik menjadi lebih baik, pintar, dan bermartabat. Namun, kadang kala profesi ini tidak dijalankan sesuai dengan amanah, mereka hanya  mengajar sebatas kewajiban tidak memiliki tanggung jawab terhadap anak didik.

Ayo coba perhatikan” Mungkin kata itu sering diucapkan  guru sewaktu menyampaikan pembelajaran  di  kelas Atau ucapan  seperti, “Jangan ramai sendiri. Kalau kalian sudah duduk di dalam kelas, artinya kalian sudah siap mengikuti pelajaran. Duduk yang tegak, tangan di atas meja, pandangan ke depan. Tidak boleh tengok kanan-kiri. Satu-satunya orang yang harus kamu dengar dan kamu lihat adalah pak Guru. Anggap teman disampingmu tidak ada.” Dari contoh tersebut ada indikasi bahwa guru sedang mencari perhatian siswa. Kehadiran guru mestinya bukan mencari perhatian, namun memberi perhatian. Hal tersebut telah membuat banyak orang yang memiliki kenangan buruk tentang guru?
 
Lalu bagaimana mendidik sepenuh hati itu? Peserta didik adalah mahluk yang memiliki hati nurani. Seyogianya sebuah lembaga pendidikan harus menempatkan siswa sebagai seorang insan yang sedang mengalami inkubasi dan berproses untuk menjadi manusia yang siap berkarya di tengah-tengah masyarakat. Anak adalah calon agent of change dan teladan di masyarakat, yang menuntun dan memberikan pencerahan bagi masyarakat yang yang haus keilmuan dan rindu seorang teladan. Karena itu, lembaga pendidikan sebagai lingkungan pemanusiaan kedua setelah keluarga harus mengindahkan hal ini dengan menciptakan suasana sistem yang kondusif dan kooperatif bagi segenap komponen lembaga dan siswa sebagai salah satunya. Dalam perjalanannya, ternyata tidak ada pendidikan formal yang sangat netral dan maksimal dalam prosesnya secara profesional. Ini ditandai dengan adanya praktik pendidikan yang kurang menghargai atau mengabaikan ekspresi kebebasan siswa. Pendidikan yang menghargai atau membebaskan itu tidak dapat direduksi hanya sekadar usaha dalam memaksakan kebebasan kepada para siswa. Adapun pendidikan yang membelenggu itu dapat memberikan pengalaman yang kurang baik kepada siswa sehingga mereka mengikuti jalan kehidupan ini dan menerima realitas tanpa filter yang selektif.
 
Mendidik  yang berdampak baik bukanlah dari otak ke otak, tetapi dari hati ke hati. Hati adalah pusat pertimbangan, sebelum kita menentukan pilihan tindakan tertentu. Hati mencakup seluruh pribadi manusia, mencakup pikiran, perasaan dan kehendak seseorang. Hati membuat kita peka akan perasaan pihak lain, sehingga kita mampu berempati dengan keadaan orang lain, tidak mudah menghakimi, atau melecehkan. Hati membuat kita mempertimbangkan perlakuan yang tepat yang dibutuhkan oleh pihak lain. Mengajar dengan otak  sangatlah mudah. Tetapi mengajar dengan hati jauh lebih sulit, meski pasti akan lebih bermanfaat dan berdampak luas. Mendidik dengan hati menjadi penting, karena sesungguhnya itulah mengajar yang mengubah hidup dan bermakna dikemudian hari.
 
Bagaimana caranya menjadi cerdas secara emosi? Pertama-tama kita perlu mengembangkan kesadaran emosional aktif, yaitu mengenali sepenuhnya setiap emosi yang kita rasakan setiap hari. Kemudian kita menggunakan emosi bersama dengan daya kesadaran kita untuk menjalani kehidupan ini dengan lebih baik dan pasti lebih bijaksana. Semua pembelajaran dimulai dari perasaan. Orang menerima apa yang mereka rasa harus diterima dan menolak apa yang mereka rasa harus ditolak.
 
Pertanyaannya bagaimana dengan orang-orang yang kita ajar atau didik? Apakah mereka bersikap menerima atau menolak? Tugas awal para pendidik adalah membangun relasi dengan peserta didik, dengan memakai hati. Maka lambat laun kita akan melihat penerimaan dan keterbukaan yang kemudian mendorong perubahan yang signifikan.Mulailah dengan hati, mendidiklah dengan sepenuh hati, agar perintah dipandang sebagai pelita, ajaran adalah cahaya yang menuntun pada kehidupan, sehingga dikemudian hari lebih banyak guru yang diingat guru yang perhatian bukan guru yang minta diperhatikan. Mendidik dengan sepenuh hati adalah wujud nyata dari sebuah profesionalisme kerja. *** Sri Surantini
Comments
  • there are no comments yet
Leave a comment